Layaknya pers mainstream, pers mahasiswa juga mengalami penyempitan ruang-ruang demokrasi baik itu di dalam kampus maupun di luar kampus. Hal ini diperpara dengan tidak adanya regulasi khusus pers yang melindungi mereka, meskipun beberapa karya jurnalistik mereka terkadang bisa lebih baik dari pada pers mainstream. Dalam pengalaman LBH Pers melakukan advokasi pers, Pers mahasiswa termasuk 2 di antara kelompok yang paling rentan mendapatkan serangan hukum maupun non hukum.
Kampus atau Universitas seharusnya menjadi ruang aman dalam menjalankan hak atas berpendapat atau bahkan hak kebebesan pers bagi pers mahasiswa. Namun ternyata tidak untuk sebagian banyak pers mahasiswa. LBH Pers mencatat sedikitnya dalam beberapa tahun terakhir cukup banyak terdapat serangan-serangan terhadap lembaga pers mahasiswa.
Dalam catatan Tirto[1], Pada tahun 2014 -2016, terdapat sedikitnya empat kasus upaya pembungkaman terhadap pers mahasiswa. Mulai dari penarikan buletin, majalah, pembekuan hingga intimidasi. Pada 2014, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta mengalami penarikan buletin EXPEDISI edisi Ospek. Penarikan tersebut dilakukan lantaran pemberitaan yang mengkritisi pelaksanaan Ospek. Pada 2015, LPM Lentera, Universitas Kristen Satya Wacana di Salatiga juga mengalami hal serupa. Majalah Lentera yang diterbitkan pada Oktober 2015 ditarik rektorat dan polisi lantaran laporan mereka tentang peristiwa 1965 di Salatiga. Pada 2016 tercatat ada dua kasus. Yakni kasus LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan LPM Pendapa Univesitas Sarjanawiyata Tamansiswa keduanya dibredel oleh pihak rektorat. LPM Poros juga sempat terancam dibekukan karena mengkritik pembangunan Fakultas Kedokteran pada April 2016. LPM Poros kemudian diaktifkan lagi pada September 2016. Kasus LPM Pendapa, pada November 2016, dibekukan kampus karena tidak mau menandatangi pakta integritas. Pakta intergritas itu muncul setelah Pendapa menerbitkan buletin yang berisi berita Fakultas MIPA gagal melakukan wisuda pada awal 2016.
Di tahun 2019, terdapat kasus pemecatan 18 anggota pers mahasiswa Universitas USU. Pemecatan dilakukan oleh Rektor karena dianggap memuat karya jurnalistik berbau LGBT.
Jika sebelum tahun 2020 pelaku kekerasan lebih banyak dari pihak kampus, berbeda di tahun 2020. Pelaku juga berasal dari pihak apparat penegak hukum. Dalam catatan LBH Pers tercatat sedikitnya 10 kasus kekerasan yang terjadi pada pers mahasiswa.
Kenapa banyak kekerasan dialamatkan kepada lembaga atau jurnalis pers mahasiswa?
Pertama, secara perlindungan hukum. Pers mahasiswa adalah termasuk kelompok yang tidak sepenuhnya dilindungi oleh UU Pers. Karena di dalam UU Pers, yang dianggap sebagai perusahaan pers adalah perusahaan yang memiliki badan hukum. Sedangkan secara lembaga pers mahasiswa tidak memungkinkan untuk memiliki badan hukum karena melekat pada bagian dari Universitas. Dampaknya ketika ada permasalahan hukum, tidak selesaikan layaknya sengketa jurnalistik, tapi diselesaikan dengan jalur-jalur pidana menggunakan instrumen penghinaan atau pencemaran nama baik.
Kedua, lembaga pers mahasiswa biasanya berisikan mahasiswa-mahasiswa yang idealis, menuangkan pemikirin-pemikiran idealis yang didapatkan dari kelas. Sehingga ketika terdapat “ketidakadilan” di kampus atau masyarakat, sifat aktifisme mahasiswanya akan mudah tersulut dan akan sangat dengan mudah untuk turut melakukan advokasi. Tentunya sesuai dengan fungsinya, menggunakan karya jurnalistik. Aktifisme pers akan sangat mudah dikelola dengan memberdayakan lembaga pers mahasiswa.
Berbeda dengan pers mainstream. Pers mainstream biasanya membutuhkan banyak pertimbangan untuk melakukan peliputan khususnya yang berkaitan dengan kepentingan pemilik media. Dan sudah kita tau bersama saat ini para pemilik media mainstream rata-rata adalah politikus. Hal ini membahayakan independensi pers.
Ketiga, kasus-kasus di atas sudah menggambarkan bahwa banyak kasus kekerasan terhadap pers mahasiswa adalah kampus itu sendiri. Bahkan lebih jauh dari itu, khususnya di dalam fakultas hukum, pengajaran tentang delik-delik pers masih diajarkan. Sehingga tidak heran jika para alumni fakultas hukum masih terus berkontribusi terhadap tingginya angka kriminalisasi terhadap jurnalis.
Kenapa penting membela lembaga pers mahasiswa?
Pers mahasiswa merupakan investasi kebebasan pers Indonesia. Masa depan kebebasan pers akan tetap terjaga dengan menjaga ruang-ruang demokrasi pers mahasiswa. Sebaliknya, jika terjadi pengekangan dan pembatasan yang berlebih, maka akan sulit kita berharap memiliki jurnalis-jurnalis yang handal dan tentunya demi kepentingan publik.
Oleh: Ade Wahyudin
Direktur Eksekutif LBH Pers
—
[1] artikel “Membredel Pers Mahasiswa”, https://tirto.id/b5ka