bt_bb_section_bottom_section_coverage_image

Bagaimana Kampus Seharusnya Bertindak atas Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual oleh Pers Mahasiswa

January 9, 2023by laporadmin0

“Dalam melaksanakan profesinya, wartawan mendapatkan perlindungan hukum”

Begitulah amanat yang termaktub pada Pasal 8 Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”). Imunitas jurnalis pada pasal tersebut berlaku bagi setiap entitas yang melakukan kerja-kerja jurnalistik, termasuk namun tidak terbatas pada Pers Mahasiswa. Meskipun bukan merupakan badan hukum sebagaimana ketentuan dari perusahaan pers yang disebutkan pada Undang-Undang, Pers Mahasiswa juga melakukan kerja-kerja jurnalistik serta memiliki fungsi sebagaimana yang disebutkan pada UU Pers yakni sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial. UU Pers juga tidak secara spesifik menyatakan bahwa UU tersebut hanya diperuntukan bagi perusahaan pers. Selama suatu entitas melakukan kerja-kerja jurnalistik dan menjalankan fungsi pers, maka pelindungan hukum yang dimaksud pada UU Pers berlaku baginya. Namun, hal ini masih kerap luput dari pertimbangan kampus dalam ‘menindak’ pers mahasiswa khususnya bagi pers mahasiswa yang menerbitkan pemberitaan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus.

Kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan tengah menjadi sorotan pada beberapa waktu belakangan. Berdasarkan laporan Komnas Perempuan pada Catahu 2022 terdapat setidaknya 67 jumlah aduan kekerasan seksual di lingkungan pendidikan yang diterima dalam kurun waktu 2015-2021 dan sebanyak 35% di antaranya terjadi di lingkungan Pendidikan Tinggi. Tentu saja  jumlah aduan kepada Komnas Perempuan tersebut hanya merupakan puncak gunung es dan tidak dapat merepresentasikan angka kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus yang sebenarnya terjadi.  Ironisnya, dari sejumlah kasus kekerasan seksual tersebut, beberapa kampus justru memiliki kecenderungan untuk melanggengkan budaya kekerasan dengan melindungi pelaku. Keengganan korban mengadukan kasusnya bukan tanpa alasan, karena alih-alih melindungi dan memberikan upaya yang diperlukan agar korban mendapatkan pemulihan, kampus justru seringkali menjadi pihak yang melakukan tindakan kekerasan berlapis terhadap korban (reviktimisasi).

Fenomena kekerasan seksual yang terjadi di kampus serta penanganannya yang nihil perspektif korban memunculkan gerakan Demi Nama Baik Kampus. Adapun gerakan tersebut tercetus pasca terjadinya kasus kekerasan seksual di Universitas Gadjah Mada yang penanganannya berujung “damai”. Jalan “damai” itu disebut-sebut sebagai cara kampus untuk mempertahankan “Nama Baik”-nya. Sedangkan salah satu kampus di belahan timur Indonesia, tepatnya Institut Agama Islam Negeri Ambon, memilih jalannya sendiri dalam mempertahankan nama baiknya, yakni dengan ‘membredel’ Lembaga Pers Mahasiswa Lintas IAIN Ambon karena telah memberitakan kasus kekerasan seksual yang melibatkan sejumlah mahasiswa, staf, dosen serta alumni. Alih-alih menjadikan hasil liputan tersebut sebagai temuan awal dalam melakukan penanganan kasus kekerasan seksual, kampus justru melakukan sejumlah tindakan yang mengintimidasi pengurus LPM Lintas IAIN Ambon, seperti menerbitkan Surat Keputusan Rektor tentang Pembekuan LPM Lintas IAIN Ambon hingga membuat laporan ke kepolisian dengan tuduhan pencemaran nama baik.

Tindakan pembungkaman yang dilakukan baik terhadap korban maupun pihak-pihak yang mengabarkan kasus kekerasan seksual ini tampaknya dianggap sebagai jalan pintas bagi kampus agar ‘terbebas dari masalah’, seharusnya kampus menyadari bahwa tiadanya penyelesaian yang konkret bukan berarti kasus kekerasan seksual tersebut tidak benar-benar terjadi. Nama baik kampus yang sesungguhnya akan didapatkan apabila kampus berhasil menjadi ruang aman baik bagi penyintas kekerasan seksual maupun seluruh sivitas akademika.

Menyelaraskan Peraturan yang berlaku secara Nasional dengan peraturan kampus

Saat ini, Indonesia telah memiliki Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (“UU TPKS”) yang mengatur secara spesifik tentang pelindungan terhadap korban kekerasan seksual. Sebelum disahkannya UU TPKS, pada 2021 silam Kementerian Pendidikan, Budaya, Riset dan Teknologi telah mengeluarkan peraturan terkait dengan penanganan kasus kekerasan seksual secara spesifik di lingkungan kampus yakni pada Permendikbud No. 30 tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Kampus harus melaksanakan mandat yang tertera pada Peraturan tersebut dalam melakukan pencegahan dan penanganan kasus kekerasan seksual di lingkungan kampus. Sebagaimana yang diatur pada Pasal 10 Permendikbud 30/2021, Perguruan Tinggi wajib melakukan Penanganan Kekerasan Seksual melalui pendampingan; pelindungan; pengenaan sanksi administratif; dan  pemulihan Korban. Lebih lanjut pada Pasal 23 ayat (1) juga diatur bahwa dalam pelaksanaan Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Pemimpin Perguruan Tinggi membentuk Satuan Tugas di tingkat Perguruan Tinggi yang memiliki tugas antara lain melakukan survei Kekerasan Seksual paling sedikit 1 (satu) kali dalam 6 (enam) bulan pada Perguruan Tinggi; menyampaikan hasil survei sebagaimana dimaksud kepada Pemimpin Perguruan Tinggi;  menindaklanjuti kekerasan seksual berdasarkan laporan.[1] Maka, dalam merespon pemberitaan kasus kekerasan seksual, sudah semestinya kampus mengacu pada ketentuan sebagaimana disebutkan di atas dan bukan dengan melakukan tindakan-tindakan intimidatif baik terhadap korban secara langsung maupun terhadap pers mahasiswa yang justru dapat semakin menjauhkan korban dalam mendapatkan keadilan.

Lembaga Pers Mahasiswa merupakan organisasi mahasiswa yang melaksanakan kerja-kerja Jurnalistik untuk mengabarkan isu-isu seputar kampus. Meskipun Pers Mahasiswa bukan merupakan perusahaan media, namun kerja-kerja jurnalistik yang dilakukannya tidak dapat didelegitimasi dengan tidak menganggapnya sebagai jurnalis sungguhan. Berdasarkan hal tersebut, maka pers mahasiswa berhak mendapatkan perlindungan hukum sebagaimana yang diatur oleh Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers (“UU Pers”). UU Pers lahir sebagai tanda kebangkitan kemerdekaan pers di Indonesia, juga sebagai momentum perbaikan proses berdemokrasi. Peranan kebebasan pers mahasiswa ada di dalam ranah pembinaan rektor dan pimpinan kampus[2], untuk itu, dalam mengimplementasikan proses berdemokrasi dalam skala kampus, salah satu hal yang harus dilakukan oleh Rektor dan pimpinan kampus adalah dengan menjamin kebebasan pers mahasiswa.

Pelindungan Hukum Pers Mahasiswa

Keserampangan tindakan yang dilakukan oleh kampus dalam merespon pemberitaan kasus kekerasan seksual juga merupakan bentuk dari terdapatnya bias perspektif terhadap legalitas pers mahasiswa itu sendiri. Dalam melakukan kerja-kerjanya, pers mahasiswa tunduk terhadap kode etik jurnalistik, untuk itu, sudah selayaknya pers mahasiswa dikualifikasikan sebagai salah satu elemen yang berhak mendapatkan perlindungan dalam sistem hukum pers. Kebebasan pers sejatinya merupakan hak yang dimiliki oleh setiap insan pers, dan hal ini tidak dapat dibatasi oleh latar belakang organisasi tempat insan pers tersebut melakukan kerja-kerjanya. Hal ini juga diperkuat oleh pengelompokan status dan isi pemberitaan yang dirumuskan oleh Dewan Pers[3] yang digunakan untuk menentukan media seperti apa saja yang tercakup dalam radar kerja-kerja dewan pers. Dalam jurnalnya, Dewan Pers mengelompokkan lanskap ragam media di Indonesia menjadi 4 (empat) kuadran, dengan uraian sebagai berikut:

  • Kuadran I : Berisi media-media arus utama (baik media cetak, radio, maupun televisi), media versi online arus utama, dan berbagai portal berita;
  • Kuadran II : Berisi media komunitas, media keagamaan, media pers mahasiswa, media kehumasan, dan lain-lain termasuk media yang sedang baru terdata di Dewan Pers dan belum dinyatakan lolos verifikasi.
  • Kuadran III : Berisi media-media bermasalah antara lain media yang memproduksi hoaks, media propaganda, media kebencian dan intoleran, media buzzer, dan media yang isinya mempertentangkan SARA.
  • Kuadran IV : Berisi media-media kuning yang isinya sensasional, gossip, kekerasan dan eksploitasi seks serta media-media partisan yang dibuat untuk kepentingan politik.

Lebih lanjut, dalam jurnalnya, Dewan Pers menyatakan bahwa; “Semua pengaduan terkait pemberitaan yang dibuat oleh media yang berada di kuadran kedua seharusnya diselesaikan melalui mekanisme UU No 40/1999, yaitu melalui mekanisme pemberian teguran, ajudikasi, mediasi ataupun penerbitan surat penilaian, pendapat, dan rekomendasi (PPR) Dewan Pers. Untuk media yang berada di kuadran kedua lebih terkait dengan kebebasan berekspresi. “ Dari kualifikasi yang dirumuskan oleh Dewan Pers, dapat diketahui bahwa, Pers Mahasiswa, yang berada pada Kuadran kedua, berhak mendapatkan perlindungan hukum sesuai dengan mekanisme hukum pers, nihilnya penyelesaian permasalahan yang bersangkutan dengan pers mahasiswa menggunakan mekanisme pers sebagaimana yang diatur pada UU Pers merupakan pelanggaran terhadap kemerdekaan pers dan kebebasan berekspresi dan berpendapat.

Yang seharusnya Kampus Lakukan terhadap Pemberitaan Kasus Kekerasan Seksual

 Memahami Perspektif Korban dan Mengutamakan Pemenuhan Keadilan bagi Korban

Semua tindakan yang akan dilakukan oleh pihak kampus sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam dimensi kekerasan seksual di  lingkungan kampus harus berlandaskan dengan pertimbangan pemulihan serta pemenuhan keadilan bagi korban. Sebelum membahas langkah teknis yang seharusnya kampus lakukan terhadap pemberitaan kasus kekerasan seksual, memahami dan menginternalisasi perspektif korban merupakan langkah awal dan fundamental bagi kampus. Kampus harus memahami bahwa apa yang dikatakan oleh korban adalah benar sebelum terbukti sebaliknya. Pemahaman ini juga termasuk meyakini bahwa korbanlah yang berhak menentukan penyelesaian seperti apa yang dapat memberikan pemenuhan keadilan terhadapnya. Dalam hal terdapatnya pemberitaan kasus kekerasan seksual, kampus tidak sepatutnya menyalahkan keputusan korban yang bersedia menceritakan pengalamannya kepada pers mahasiswa alih-alih mengadukannya ke pihak kampus. Berangkat dari pemahaman inilah kampus seharusnya bertindak.

  • Membentuk Satuan Tugas

Terbentuknya satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan  kekerasan seksual merupakan salah satu mandat dari Permendikbud 30/2021 kepada seluruh Perguruan Tinggi di Indonesia. Di samping sebagai bentuk pelaksanaan kewajiban dari peraturan tersebut, membentuk satuan tugas juga merupakan wujud komitmen kampus dalam melakukan pencegahan dan penanganan, baik ada/tidaknya pemberitaan mengenai kasus kekerasan seksual. Dengan begitu, terdapatnya pemberitaan kasus kekerasan seksual seharusnya justru dapat dijadikan momentum bagi kampus untuk membentuk satuan tugas dan hasil liputannya dapat dijadikan temuan awal guna melakukan penanganan kasus kekerasan seksual.

  • Berkolaborasi dengan Pers Mahasiswa dalam Melakukan Penanganan Kasus Kekerasan Seksual

Sebagaimana yang disebutkan pada paragraf sebelumnya, hasil liputan mengenai kasus kekerasan seksual yang diberitakan oleh pers mahasiswa seharusnya dapat dijadikan temuan awal bagi kampus, baik melalui satuan tugas maupun tidak, dalam melakukan penanganan kasus kekerasan seksual. Kampus juga harus memahami bahwa dalam mematuhi kode etik jurnalistik, pihak pers mahasiswa berhak menolak memberikan informasi mengenai identitas korban tanpa persetujuan dari korban. Pers mahasiswa dapat menjadi penghubung antara pihak kampus dengan korban sebagai salah satu bentuk dari kolaborasi yang dimaksud.

  • Memberikan Jaminan Pelindungan Bagi Pers Mahasiswa

Sebagai bagian dari elemen kampus yang melakukan upaya penanganan kasus kekerasan seksual, pers mahasiswa berhak mendapatkan pelindungan dari pihak kampus sebagaimana pelindungan terhadap korban maupun saksi seperti jaminan keberlanjutan untuk menyelesaikan pendidikan; jaminan pelindungan dari ancaman fisik dan nonfisik dari pelaku atau pihak lain atau keberulangan Kekerasan Seksual dalam bentuk memfasilitasi pelaporan terjadinya ancaman fisik dan nonfisik kepada aparat penegak hukum; pelindungan atas kerahasiaan identitas; pelindungan dari tuntutan pidana maupun gugatan perdata; dan lain sebagainya. Hal ini penting diperhatikan mengingat posisi pers mahasiswa yang cukup rentan dalam melakukan kerja-kerjanya apalagi jika pihak terduga pelaku memiliki peran dan posisi penting di lingkungan kampus.

  •  Memposisikan Pers Mahasiswa sebagai pelaku kerja-kerja Jurnalistik yang dilindungi UU Pers

Jika pihak kampus mengidentifikasi terdapatnya pelanggaran kode etik jurnalistik pada pemberitaan yang dilakukan oleh pers mahasiswa, kampus dapat melakukan penyelesaian menggunakan mekanisme sebagaimana yang terdapat pada UU Pers. Jika pemberitaan sebagaimana dimaksud dianggap menimbulkan kerugian bagi kampus dan/atau memuat keterangan yang tidak sesuai dengan yang diketahui oleh pihak kampus secara langsung, pihak kampus dapat menyampaikan hak jawab maupun hak koreksinya kepada pers mahasiswa yang bersangkutan untuk kemudian dapat dimuat pada pemberitaan selanjutnya. Hak Jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.[4]  Pers Mahasiswa kemudian diwajibkan untuk memuat hak jawab pada medianya sebagaimana yang diamanatkan pada  Setelah mekanisme hak jawab telah dilakukan namun belum ada penyelesaian yang dianggap mengakomodir kepentingan pihak yang telah dirugikan atas pemberitaan tersebut, kampus dapat melakukan pengaduan kepada Dewan Pers untuk meminta penilaian terhadap pemberitaan yang dipersengketakan tersebut. Hasil dari pengaduan tersebut akan berupa PPR atau Pernyataan Penilaian dan Rekomendasi yang berisi apakah pemberitaan yang diadukan tersebut merupakan karya jurnalistik atau bukan; apakah pemberitaan tersebut melanggar kode etik jurnalistik atau tidak; juga disertai dengan rekomendasi dari Dewan Pers. Kampus harus menghormati PPR Dewan Pers dengan melaksanakan rekomendasinya sebagai bentuk penghormatan terhadap kemerdekaan pers.

oleh: Gema Gita Persada
Pengacara Publik LBH Pers

Referensi

[1] Pasal 34 ayat (1) Permendikbud No. 30/2021

[2]  Dewan Pers: Rektor Harus Hargai Kebebasan Ekspresi Pers Mahasiswa’, Tirto, https://tirto.id/dlE5, 10 April 2019

[3] Mendorong Profesionalisme Pers melalui Verifikasi Perusahaan Pers, Jurnal Dewan Pers, Edisi 14 Juni 2017

[4] Pasal 1 angka 11 Undang-Undang No 40 tahun 1999 tentang Pers

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *