Sebagaimana dalam Peraturan Dewan Pers 09/Peraturan-DP/X/2008 Tentang Pedoman Hak Jawab, Angka 16 menyebutkan “Hak Jawab tidak berlaku lagi jika setelah 2 (dua) bulan sejak berita atau karya jurnalistik dipublikasikan pihak yang dirugikan tidak mengajukan Hak Jawab, kecuali atas kesepakatan para pihak”.
Badan hukum tidak boleh menjadi satu-satunya indikator dalam melihat suatu media non-pers atau abal-abal. Secara substansinya, media telah menjalankan fungsi dan peranan sebagaimana diamanatkan konstitusi dan UU Pers, harus dilihat dari kerja jurnalistik yang dilakukan. Pada praktiknya, ada media berbadan hukum, namun tidak menjalankan profesi jurnalistik dengan benar, dan sebaliknya terdapat media alternatif yang belum memenuhi syarat badan hukum, namun telah menjlakan kode etik jurnalistik secara taat.
UU Pers hanya mewajibkan media didirikan harus berbadan hukum. Adapun verifikasi merupakan salah satu langkah yang dilakukan Dewan Pers untuk mendorong profesionalisme media dan mencegaj praktik media abal-abal. Media berbadan hukum yang belum terverifikasi namun menjlankan kerja jurnalistik dan kode etik jurnalistik dengan benar, tetap dikategorikan sebagai pers nasional.
Bipartit adalah proses perundingan antara kedua belah pihak (pekerja dan pemberi kerja). Bipartit merupakan proses yang wajib dilalui dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Di dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur secara spesifik pihak mana yang harus memulai, kedua belah pihak dapat menyampaikan permohonan dilaksanakannya bipartit terhadap pihak lainnya. Namun, pada praktiknya, pekerjalah yang biasanya menyampaikan surat undangan untuk diadakan perundingan bipartit kepada pihak perusahaan/pemberi kerja. Dalam tahap ini, pekerja menyampaikan apa yang jadi tuntutannya kepada pemberi kerja dan pemberi kerja dapat menyampaikan jawaban atas tuntutan pekerja/ Bipartit dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya tanggal perundingan. Jika selama 30 hari tidak mencapai kesepakatan maka perundingan bipartit dianggap gagal atau tidak mencapai kesepakatan. Hasil perundingan pada setiap pertemuan Bipartit dituangkan pada Risalah Bipartit. Apabila kesepakatan atas tuntutan telah tercapai dalam tahap bipartit, maka para pihak segera untuk membuat Perjanjian Bersama (PB) yang ditandatangani oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan PB. maka dikeluarkan Perjanjian Bersama (PB) sebagai dasar hukum yang sah dan mengikat bagi kedua pihak. Apabila tidak tercapai kesepakatan pada proses bipartit, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.
Penyelesaian melalui mediasi adalah penyelesaian sengketa pada langkah lebih lanjut setelah tahap bipartit. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yan berada di setiap kantor instansi yang beranggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota (Dinas Ketenagakerjaan). Setelah perundingan bipartit gagal dan para pihak untuk memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Dan dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang beranggung hawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Tahap ini biasa disebut dengan Tripartit. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak pihak menagadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubngan industrial melalui mediasi, maka:
Setelah perundingan bipartit gagal kemudian mencatatkan perselisihan kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat kemudia memilih penyelesaian melalui konsiliasi maka instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi. Secara definisi, Konsilisasi adalah penyelesia perselisihan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang beranggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Penyelesaian oleh konsiliator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak. Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Dalam hal tercapai/tidaknya kesepakatan dalam tahap ini maka langkah selanjutnya serupa dengan penyelesaian oleh mediator pada dinas ketenagakerjaan.
Setelah perundingan bipartit gagal kemudian mencatakan perselisihan kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat kemudian memilih penyelesaian melalui arbitrase maka instansi yang bertanggungjawab di bidang ketengakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan melalui arbitrase. Di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang beselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.
Penyelesaian perseslisihan di Pengadilan Hubungan Industrial merupakan tahapan lanjutan dari penyelesaian melalui mediasi ataupun konsiliasi apabila belum juga mencapai kesepakatan. Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.
Pemahaman terhadap hak dan kewajiban penting untuk menghindari adanya perselisihan baik karena pelanggaran yang dilakukan pengusaha atau bahkan pekerja. Pada praktiknya, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena pekerja melanggar kewajibannya.
Dokumentasi yang baik menjadi salah satu kunci untuk dapat menuntut hak-hak saat terhadi pelanggaran oleh perusahaan. Terutama saat menghadapi perselisihan hubungan industrial hingga tahap Pengadilan Hububngan Industrial (PHI). Sebab, tanpa adanya cukup bukti, proses advokasi akan sulit dimenangkan, atau setidaknya tuntutan yang diajukan berisiko gagal. Berikut dokumen-dokumen kerja yang harus diperhatikan dan disiapkan apabila pekerja hendak mengajukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial:
Pekerja yang menghadapi perselisihan hubungan industrial arus mengantisipasi risiko ancaman hukum. Ketika mengalami pelanggaran hak dan kepentinganm sebaiknya pekerja mengindari terjebak pada herat ukum. Sehingga tidak melakukan tindakan berlebihan seperti melontarkan tuduhan tanpa mengantongi bukti yang dapat dipertanggungjawabkan melalui media sosial. Sebab, hal itu dapat menjadi pintu masuk pihak perusahaan menempuh upaya pidana terkait dengan pencemaran nama baik. Kondisi ini tentu akan menyulitkan upaya advokasi yang dilakukan serta akan mengurai konsentrasi pekerja dalam menuntut hak sekaligus membela diri terhadap hukum.
Pekerja dapat menolak pemutusan hubungan kerja sepihak yang dilakukan oleh pemberi kerja/perusahaan. Pemutusan hubungan kerja harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti didahului dengan mengirimkan Surat Peringatan setidaknya 2 (dua) kali dalam jangka waktu yang patut. Jika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, pekerja berhak menolak untuk dilakukan PHK terhadapnya. Penolakan dapat diajukan secara tertulis sekaligus untuk memberikan permohonan untuk dilaksanakannya proses Bipartit terkait dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja.
Selain dari pada perselisihan hubungan industrial sebagaimana yang disebutkan pada poin sebelumnya, pada ketentuan ketenagakerjaan di Indonesia mengatur sedemikian rupa berbagai perlindungan hak-hak pekerja. Salah satu bentuk perlindungan hak-hak pekerja adalah dengan menegakan beberapa hak-hak ketenagakerjaan dengan cara memberikan sanksi pidana jika terjadi pelanggaran pemenuhan hak-hak tersebut.
Pemotongan upah atau cuti merupakan salah satu bentuk tindak pidana. Tidak membayar upah tidak sesuai dengan kesepakatan diatur pada Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, sedangkan pelanggaran hak istirahat dan cuti pada Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Tindak pidana pemotongan upah atau cuti dapat dilaporkan kepada Kepolisian dan/atau pengawas ketenagakerjaan. Tindak pidana perburuhan dapat dilaporkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan pengawasan ketenagakerjaan berada di pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Berdasarkan Kitab Hukum Acara Pidana, PPNS yang menemukan bukti kuat tindak pidana perburuhan dapat melimpahkan berkasnya ke Kejaksaan melalui Penyidik Polri.