FAQ

bt_bb_section_bottom_section_coverage_image
Siapa yang berwenang menyelesaikan penyelesaian sengketa pers?
  • Dalam Undang-Undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers (UU Pers), Dewan Pers dibentuk sebagai lembaga yang independen dalam upaya mengembangkan kemerdekaan pers dan meningkatkan kehidupan pers nasional. Untuk itu, sebagai perwujudan atas independensi pers sebagaimana yang dicita-citakan pada UU Pers, yang berwenang dalam penyelesaian sengketa pers ialah Dewan Pers
  • Pasal 15 ayat (2) huruf d UU Pers menyebutkan bahwa Dewan Pers melaksanakan fungsi untuk memberikan pertimbangan dan megupayakan penyelesaian pengaduan masyarakat atas kasus-kasus yang berhubngan dengan pemberitaan pers.
Apa itu Hak Jawab dan Hak Koreksi ?
  • Hak jawab adalah hak seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya.
  • Hak koreksi adalah hak setiap orang untuk mengoreksi atau memberiktahukan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh pers, baik tentang dirinya maupun tentang orang lain
  • Pasal 5 ayat (2) dan ayat (3) UU Pers mewajibkan Pers untuk melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi. Pada Pasal 11 Kode Etik Jurnalistik juga disebutkan bahwa Wartawan Indonesia melayani hak jawab dan jak koreksi secara proporsional. Pada intinya, Hak Jawab diberikan kepada pihak yang merasa dirugikan oleh suatu pemberitaan, sedangkan hak koreksi diberikan kepada setiap orang. Hak jawab berisi tanggapan atau sanggahan terhadap berita yang menyangkut langsung diri dari pihak yang dirugikan. Hak koreksi berisi koreksi dari siapa saja menyangkut informasi apapun yang dinilainya salah, terutama kekeliruan fakta dan data teknis.
Bagaimana prosedur pelaksanaan hak jawab dan hak koreksi?
  • Berdasarkan pedoman hak jawab yang dikeluarkan oleh Dewan Pers, berikut prosedur pengajuan Hak Jawab:
  1. Dalam hal kelompok orang, organisasi atau badan hukum, Hak Jawab diajukan oleh pihak yang berwenang dan atau sesuai statuta organisasi atau badan hukum bersangkutan;
  2. Pengajuan hak jawab dilakukan secara tertulis (termasuk digital) dan ditujukan kepada penanggung jawab pers bersangkutan atau menyampaikan langsung kepada redaksi dengan menunjukan identitas diri;
  3. Pihak yang mengajukan hak jawab wajib memberiktahukan informasi yang dianggap merugikan dirinya baik bagian per bagian atau secara keseluruhan dengan data pendukung;
  4. Pelayanan Hak Jawab tidak dikenakan biaya;
  5. Hak Jawab dilakukan secara proporsional:
  • Hak jawab atas pemberitaan atau karya jurnalistik yang keliru dan tidak akurat dilakukan baik pada bagian per bagian atau secara keseluruhan dari informasi yang dipermasalahkan;
  • Hak jawab dengan persetujuan para pihak dapat dilayani dalam format ralat, wawancara, profil, features, liputan, talkshow, pesan berjalan, komentar media siber, atau format lain tetapi bukan dalam format iklan
  • Pelaksanaan hak jawab harus dilakukan dalam waktu yang secepatnya atau pada kesempatan pertama sesuai dengan sifat pers yang bersangkutan
  • Pemuatan hak jawab dilakukan satu kali untuk setiap pemberitaan;
  • Dalam hal terdapat kkeliruan dan ketidakakurata fakta yang bersifat menghakimi, fitnah dan atau bohong, pers wajib meminta maaf
  1. Pers berhak menyunting Hak Jawab sesuai dengna prinsip-prinsip pemberitaan atau karya jurnalistik, namun tidak boleh mengubah substansi atau makna Hak Jawab yang diajukan
  2. Hak Jawab tidak berlaku lagi jika setelah 2 (dua) bulan sejak berota atau karya jurnlaistik dipublikasikan pihak yang dirugikan tidak mengajukan Hak Jawab, kecuali atas kesepakatan para pihak
    • Hak koreksi dilakukan dengan prosedur yang sama tetapi dengan muatan kepentingan yang berbeda (lihat perbedaan Hak Jawab dan Hak Koreksi pada poin sebelumnya.
Apakah ada masa daluarsa pengajuan Hak Jawab?

Sebagaimana dalam Peraturan Dewan Pers 09/Peraturan-DP/X/2008 Tentang Pedoman Hak Jawab, Angka 16 menyebutkan “Hak Jawab tidak berlaku lagi jika setelah 2 (dua) bulan sejak berita atau karya jurnalistik dipublikasikan pihak yang dirugikan tidak mengajukan Hak Jawab, kecuali atas kesepakatan para pihak”.

Apa sanksi bagi perusahaan pers yang tidak melayani hak jawab / hak koreksi?
  • Berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (2) dan (3) UU No. 40/1999 Tentang Pers menyebutkan “Pers wajib melayani Hak Jawab dan Hak Koreksi” . Sehingga konsekuensi logis bila hal tersebut tidak dilaksanakan maka akan ada sanksi hukum terhadapnya. UU Pers pada Bab Pidana, khususnya Pasal 18 ayat 2 menegaskan “Perusahaan pers yang melanggar ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2), serta Pasal 13 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp. 500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah).”
  • Perlu diperhatikan bahwa konteks pasal tersebut merupakan Pidana Denda bukan Pidana Badan dan objek yang dimaksud Pasal tersebut adalah Perusahaan Media bukan Jurnalis/wartawan, dapat dilihat dalam penjelasan Pasal 12 UU No. 40/1999 Tentang Pers.
Apa saja fungsi dan peranan pers?
  • Berdasarkan Pasal 3 Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers, Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial.
  • Selanjutnya pada Pasal 6 UU Pers menentukan bahwa Pers nasional melaksanakan peranan sebagai berikut:
  1. memenuhi hak masyarakat untuk mengetahui;
  2. menegakkan nilai-nilai dasar demokrasi, mendorong terwujudnya supremasi hukum, dan Hak Asasi Manusia, serta menghormati kebhinekaan;
  3. mengembangkan pendapat umum berdasarkan informasi yang tepat, akurat dan benar;
  4. melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum;
  5. memperjuangkan keadilan dan kebenaran
Apakah media tidak berbadan hukum bukan pers?

Badan hukum tidak boleh menjadi satu-satunya indikator dalam melihat suatu media non-pers atau abal-abal. Secara substansinya, media telah menjalankan fungsi dan peranan sebagaimana diamanatkan konstitusi dan UU Pers, harus dilihat dari kerja jurnalistik yang dilakukan. Pada praktiknya, ada media berbadan hukum, namun tidak menjalankan profesi jurnalistik dengan benar, dan sebaliknya terdapat media alternatif yang belum memenuhi syarat badan hukum, namun telah menjlakan kode etik jurnalistik secara taat.

Apakah verifikasi perusahaan pers wajib dilakukan?

UU Pers hanya mewajibkan media didirikan harus berbadan hukum. Adapun verifikasi merupakan salah satu langkah yang dilakukan Dewan Pers untuk mendorong profesionalisme media dan mencegaj praktik media abal-abal. Media berbadan hukum yang belum terverifikasi namun menjlankan kerja jurnalistik dan kode etik jurnalistik dengan benar, tetap dikategorikan sebagai pers nasional.

Apakah wartawan/ jurnalis wajib memiliki sertifikasi kompetensi profesi?
  • Uji Kompetensi Wartawan (UKW) merupakan tahapan pengujian tehadap wartawab mengenai kompetensi yang harus dikuasai untuk memperoleh jenjang kompetensi wartawab ayng dilaksanakan oleh lembaga uji. Wartawan yang lulus UKW akan mendapatkan sertifikat kompetensiwartawan berdasarkan jenjang tertentu.
  • Sama halnya dengan verifikasi perusahaan pers, sertifikasi kompetensi wartawan juga bertujuan untuk mendorong profesionalisme wartawan melalui pendidikan dan pealtihan jurnalistik. Tidak ada ketentuan secara eksplisit dalam UU Pers yang mewajibkan seorag wartawan untuk mengikuti atau memiliki sertifikat kompetensi wartawan atau kartu uji kompetensi wartawan
Bagaimana tahapan penyelesaian perselisihan hubungan industrial ?
  • Bipartit, tripartit (Mediasi, ajudikasi, arbitrase), penyelesaian pada pengadilan hubungan industrial.
    • Bipartit

    Bipartit adalah proses perundingan antara kedua belah pihak (pekerja dan pemberi kerja). Bipartit merupakan proses yang wajib dilalui dalam penyelesaian perselisihan hubungan industrial. Di dalam peraturan perundang-undangan tidak diatur secara spesifik pihak mana yang harus memulai, kedua belah pihak dapat menyampaikan permohonan dilaksanakannya bipartit terhadap pihak lainnya. Namun, pada praktiknya, pekerjalah yang biasanya menyampaikan surat undangan untuk diadakan perundingan bipartit kepada pihak perusahaan/pemberi kerja. Dalam tahap ini, pekerja menyampaikan apa yang jadi tuntutannya kepada pemberi kerja dan pemberi kerja dapat menyampaikan jawaban atas tuntutan pekerja/ Bipartit dilaksanakan dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak dimulainya tanggal perundingan. Jika selama 30 hari tidak mencapai kesepakatan maka perundingan bipartit dianggap gagal atau tidak mencapai kesepakatan. Hasil perundingan pada setiap pertemuan Bipartit dituangkan pada Risalah Bipartit. Apabila kesepakatan atas tuntutan telah tercapai dalam tahap bipartit, maka para pihak segera untuk membuat Perjanjian Bersama (PB) yang ditandatangani oleh para pihak yang melakukan perjanjian pada Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan PB. maka dikeluarkan Perjanjian Bersama (PB) sebagai dasar hukum yang sah dan mengikat bagi kedua pihak. Apabila tidak tercapai kesepakatan pada proses bipartit, maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan.

    • Penyelesaian Melalui Mediasi

    Penyelesaian melalui mediasi adalah penyelesaian sengketa pada langkah lebih lanjut setelah tahap bipartit. Penyelesaian perselisihan melalui mediasi dilakukan oleh mediator yan berada di setiap kantor instansi yang beranggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota (Dinas Ketenagakerjaan). Setelah perundingan bipartit gagal dan para pihak untuk memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase. Dan dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang beranggung hawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator. Tahap ini biasa disebut dengan Tripartit. Dalam hal tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubungan industrial melalui mediasi, maka dibuat Perjanjian Bersama yang ditandatangani para pihak dan disaksikan oleh mediator serta didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak pihak menagadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran. Dalam hal tidak tercapai kesepakatan penyelesaian perselisihan hubngan industrial melalui mediasi, maka:

    1. mediator mengeluarkan anjuran tertulis;
    2. anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja sejak sidang mediasi pertama harus sudah disampaikan kepada para pihak;
    3. para pihak harus sudah memberikan jawaba secara tertulis kepada mediator yang isinya menyetujui atau menolak anjuran tertulis dalam waktu selambat-lambatnya 10 (sepuluh) hari kerja setelah menerima anjuran tertulis;
    4. pihak yang tidak memberikan pendapatnya sebagaimana dimaksud pada huruf c dianggap menolak anjuran tertulis;
    5. dalam hal para pihak menyetujui anjuran tertulis sebagaimana dimaksud ada huruf a, maka dalam waktu selambat-lambatnya 3 (tiga) hari kerja sejak anjuran tertulis disetujui, mediator harus sudah selesai membantu para pihak membuat Perjanjian Bersama untuk kemudian didaftar di Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah hukum pihak-pihak mengadakan Perjanjian Bersama untuk mendapatkan akta bukti pendaftaran.
    • Penyelesaian Melalui Konsiliasi

    Setelah perundingan bipartit gagal kemudian mencatatkan perselisihan kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat kemudia memilih penyelesaian melalui konsiliasi maka instansi yang bertanggungjawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi. Secara definisi, Konsilisasi adalah penyelesia perselisihan melalui musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral. Penyelesaian perselisihan melalui konsiliasi dilakukan oleh konsiliator yang terdaftar pada kantor instansi yang beranggung jawab di bidang ketenagakerjaan Kabupaten/Kota. Penyelesaian oleh konsiliator dilaksanakan setelah para pihak mengajukan permintaan penyelesaian secara tertulis kepada konsiliator yang ditunjuk dan disepakati oleh para pihak. Para pihak dapat mengetahui nama konsiliator yang dipasang dan diumumkan pada kantor instansi Pemerintah yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat. Dalam hal tercapai/tidaknya kesepakatan dalam tahap ini maka langkah selanjutnya serupa dengan penyelesaian oleh mediator pada dinas ketenagakerjaan.

    • Penyelesaian Melalui Arbitrase

    Setelah perundingan bipartit gagal kemudian mencatakan perselisihan kepada Dinas Ketenagakerjaan setempat kemudian memilih penyelesaian melalui arbitrase maka instansi yang bertanggungjawab di bidang ketengakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan melalui arbitrase. Di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang beselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final. 

    • Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial

    Penyelesaian perseslisihan di Pengadilan Hubungan Industrial merupakan tahapan lanjutan dari penyelesaian melalui mediasi ataupun konsiliasi apabila belum juga mencapai kesepakatan. Pengadilan hubungan industrial merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan umum.

Apa saja yang perlu diperhatikan pekerja mengantisipasi terjadinya perselisihan?
    1. Pekerja perlu memahami dan menjalankan hak dan kewajiban

    Pemahaman terhadap hak dan kewajiban penting untuk menghindari adanya perselisihan baik karena pelanggaran yang dilakukan pengusaha atau bahkan pekerja. Pada praktiknya, pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja karena pekerja melanggar kewajibannya.

    1. Dokumentasi

    Dokumentasi yang baik menjadi salah satu kunci untuk dapat menuntut hak-hak saat terhadi pelanggaran oleh perusahaan. Terutama saat menghadapi perselisihan hubungan industrial hingga tahap Pengadilan Hububngan Industrial (PHI). Sebab, tanpa adanya cukup bukti, proses advokasi akan sulit dimenangkan, atau setidaknya tuntutan yang diajukan berisiko gagal. Berikut dokumen-dokumen kerja yang harus diperhatikan dan disiapkan apabila pekerja hendak mengajukan penyelesaian perselisihan hubungan industrial:

    • Surat perjanjian kerja baik Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) atau Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT);
    • Bukti perpanjangan kontrak;
    • Perjanjian Kerja Bersama;
    • Peraturan Perusahaan (PP);
    • Slip Gaji;
    • Absensi; dan
    • Bukti-Bukti lainnya.
    1. Mengantisipasi Ancaman Hukum

    Pekerja yang menghadapi perselisihan hubungan industrial arus mengantisipasi risiko ancaman hukum. Ketika mengalami pelanggaran hak dan kepentinganm sebaiknya pekerja mengindari terjebak pada herat ukum. Sehingga tidak melakukan tindakan berlebihan seperti melontarkan tuduhan tanpa mengantongi bukti yang dapat dipertanggungjawabkan melalui media sosial. Sebab, hal itu dapat menjadi pintu masuk pihak perusahaan menempuh upaya pidana terkait dengan pencemaran nama baik. Kondisi ini tentu akan menyulitkan upaya advokasi yang dilakukan serta akan mengurai konsentrasi pekerja dalam menuntut hak sekaligus membela diri terhadap hukum.

Apa saja jenis perselisihan yang diatur pada peraturan perundang-undangan?
  • Terdapat sejumlah jenis perselisihan hubungan industrial yang diatur di dalam Peraturan Perundang-undangan, yakni: Perselisihan hak, Perselisihan Kepentingan, Perselisihan Pemutusan Hubungan Kerja, dan Perselisihan Serikat Pekerja. Berikut penjelasan dari masing-masing jenis perselisihan sebagaimana yang diatur pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial:
  • Perselisihan hak adalah perselisihan yang timbul karena tidak dipenuhinya hak, akibat adanya perbedaan pelaksanaan atau penafsiran terhadap ketenttuan peraturan perundang-undangan, perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
  • Perselisihan kepentingan adalah perselisihan yang timbul dalam hubungan kerja karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pembuatan, dan/atau perubahan syarat-syarat kerja yang ditetapkan dalam perjanjian kerja bersama.
  • Perselisihan pemutusan hubungan kerja adalah perselisihan yang timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Bagaimana menyikapi pemutusan hubungan kerja sepihak?

Pekerja dapat menolak pemutusan hubungan kerja sepihak yang dilakukan oleh pemberi kerja/perusahaan. Pemutusan hubungan kerja harus dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, seperti didahului dengan mengirimkan Surat Peringatan setidaknya 2 (dua) kali dalam jangka waktu yang patut. Jika perusahaan melakukan pemutusan hubungan kerja yang tidak sesuai dengan tata cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, pekerja berhak menolak untuk dilakukan PHK terhadapnya. Penolakan dapat diajukan secara tertulis sekaligus untuk memberikan permohonan untuk dilaksanakannya proses Bipartit terkait dengan perselisihan pemutusan hubungan kerja.

Bagaimana menyikapi pemotongan upah atau cuti di luar tanggungan?

Selain dari pada perselisihan hubungan industrial sebagaimana yang disebutkan pada poin sebelumnya, pada ketentuan ketenagakerjaan di Indonesia mengatur sedemikian rupa berbagai perlindungan hak-hak pekerja. Salah satu bentuk perlindungan hak-hak pekerja adalah dengan menegakan beberapa hak-hak ketenagakerjaan dengan cara memberikan sanksi pidana jika terjadi pelanggaran pemenuhan hak-hak tersebut.

Pemotongan upah atau cuti merupakan salah satu bentuk tindak pidana. Tidak membayar upah tidak sesuai dengan kesepakatan diatur pada Pasal 185 ayat (1) UU Ketenagakerjaan, sedangkan pelanggaran hak istirahat dan cuti pada Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan. Tindak pidana pemotongan upah atau cuti dapat dilaporkan kepada Kepolisian dan/atau pengawas ketenagakerjaan. Tindak pidana perburuhan dapat dilaporkan kepada Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Berdasarkan Undang-Undang No 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, kewenangan pengawasan ketenagakerjaan berada di pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Berdasarkan Kitab Hukum Acara Pidana, PPNS yang menemukan bukti kuat tindak pidana perburuhan dapat melimpahkan berkasnya ke Kejaksaan melalui Penyidik Polri.

Bolehkah perusahaan melakukan mutasi tanpa persetujuan pekerja?
  • Segala tindakan yang dilakukan oleh perusahaan/pemberi kerja terhadap pekerja harus sesuai dengan ketentuan yang dituangkan dalam perjanjian kerja dan/atau berdasarkan kesepakatan dengan pekerja. Apabila mutasi atau peralihan pekerja ke posisi atau bidang lain dilakukan tanpa kesapakatan dari pekerja maka pekerja berhak menolak.
  • Pasal 52 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa Perjanjian kerja dibuat atas dasar kesepakatan, kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum, adanya pekerjaan yang diperjanjikan; dan pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Tanpa terpenuhinya hal-hal sebagaimana disebutkan sebelumnya maka perjanjian dapat dibatalkan (Pasal 52 ayat 2 UU Ketenagakerjaan).
  • Jadi, pada intinya, mutasi atau peralihan posisi dapat dilakukan oleh perusahaan hanya apabila terdapat kesepakatan dari pekerja.
Apa saja hak-hak dan kewajiban pekerja?
  • Pekerja memiliki hak-hak nya sebagai pekerja, yakni sebagai berikut:
  1. Hak atas kesempatan dan perlakuan yang sama
  2. Hak untuk mendapatkan pelatihan kerja
  3. Hak atas penempatan tenaga kerja
  4. Hak untuk melaksanakan kerja sesuai waktu yang ditentukan
  5. Hak untuk istirahat dan cuti
  6. Hak untuk melaksanakan ibadah
  7. Hak atas kesehatan dan keselamatan kerja
  8. Hak atas upah yang layak
  9. Hak atas jaminan sosial tenaga kerja
  10. Hak atas jaminan sosial tenaga kerja
  11. Hak kebebasan berserikat
  12. Hak khusus pekerja perempuan
  13. Hak atas pesangon bila di-PHK
  • Di samping hak-haknya, Pekerja juga bertanggungjawab untuk melaksanakan kewajibannya, yakni: mengerjakan tugas dan tanggungjawab sebagaimana yang ditentukan dalam perjanjian kerja selama tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; tidak mangkir selama 5 (lima) hari kerja atau lebih berturut-turut tanpa keterangan secara tertulis.
  • Pasal 102 UU Ketenagakerjaan menentukan bahwa dala melaksanakan hubungan industrial, pekerja mempunyai fungsi menjalankan pekerjaan sesuai dengan kewajibannya, menjaga ketertiban demi kelangsungan produksi, menyalurkan aspirasi secara demokratis, mengembangkan keterampilan, dan keahliannya serta ikut memajukan perusahaan dan memperjuangkan kesejateraan anggota beserta keluarganya.
Apa hak pekerja freelance dan kontributor ?
  • Freelance maupun kontributor tetap merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari suatu perusahaan, untuk itu mereka tetap berhak atas hak-hak nya sebagai pekerja seperti hak atas upah layak (atau baisa disebut honorarium). Hubungan kerja antara Pekerja freelance maupun kontributor juga harus dilandasi dengan perjanjian kerja yang sesuai dengan ketentuan mengenai perjanjian kerja (Pasal 52 ayat 1 UU Ketengakerjaan) untuk menjamin hak atas kepastian hukum.
  • Perusahaan/pemberi kerja juga bertanggungjawab untuk memberikan perlindungan hukum bagi freelance maupun kontributor pada perusahaannya.
cara menghitung kompensasi berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja?
  • Pekerja dengan jenis hubungan kerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (Pekerja kontrak) berhak mendapatkan uang kompensasi pada saat berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja. Hal ini sebagaimana disebutkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 35 tahun 2021 yang menyebutkan bahwa Pengusaha wajib memberikan uang kompensasi kepada Pekerja/Buruh yang hubungan kerjanya berdasarkan PKWT, Pemberian uang kompensasi dilaksanakan pada saat berakhirnya PKWT (Pasal 15).
  • Ketentuan mengenai perhitungan besaran kompensasi diatur pada Pasal 16 PP 35/2021 sebagai berikut:
bt_bb_section_bottom_section_coverage_image